Tim Pusaka Rasa Nusantara termasuk dalam penumpang yang diangkut siang itu. Di Kaluppini, yang dituju adalah komunitas adat setempat. Di sana mereka akan berbaur bersama perempuan adat untuk berdiskusi sekaligus memasak sejumlah kuliner tradisional.
Tiba di salah satu rumah warga di Kaluppini, sekelompok perempuan sudah menunggu. Sejumlah bahan makanan telah disiapkan. Hari itu mereka akan memasak sokko sikapa, nande kandoa, dan kajompi.
Sokko sikapa adalah pengganti nasi yang diolah dari tanaman umbi-umbian yang tumbuh di hutan. Nande kandoa adalah nasi ubi, yakni beras yang dimasak dicampur singkong. Adapun kajompi adalah lauk yang terbuat dari kelapa parut diberi bumbu dan difermentasi. Biasanya lauk ini dipanggang dengan dibungkus daun atau dibuat bulatan dan ditusuk seperti sate.
”Kami memasak makanan ini sejak zaman nenek moyang kami dulu. Diajarkan turun-temurun. Murah meriah karena semua berasal dari kebun sendiri dan hutan sekitar desa,” kata Yeda (50).
Dengan cekatan, Meilati Batubara, pemimpin tim Pusaka Rasa Nusantara, mencatat bahan dan cara membuat aneka kuliner tersebut. Untuk memastikan komposisi bahannya, dia juga menimbang dengan timbangan digital yang sudah dipersiapkan.
Baca juga : Mengabadikan Warisan Kuliner Nusantara
”Pendokumentasian ini adalah bagian dari upaya menjaga resep-resep tradisional dari kepunahan akibat kurangnya budaya mencatat resep di masyarakat Indonesia. Banyak resep tradisional tidak tercatat secara rinci. Komposisi bahan-bahan biasanya berdasarkan perkiraan dan kebiasaan. Jadi, kami mencatatnya. Ini kami lakukan agar resep-resep tradisional ini tak hilang,” katanya.
Program Pusaka Rasa Nusantara yang dijalankan Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia mendokumentasikan aneka kuliner tradisional. Selain itu, kuliner langka dan unik serta menggunakan bahan dari sistem pertanian dan perkebunan berkelanjutan juga jadi fokus.
Perjalanan berburu resep tradisional di Kabupaten Enrekang tak berakhir di Kaluppini. Keesokan harinya, tim ke Desa Cakke, Kecamatan Anggareja. Di sini Sri Winam (55), salah seorang warga, membuat nasu burak manu', yakni sayur dari batang pisang. Yang digunakan adalah batang pisang muda dari jenis pisang kepok atau pisang batu. Dicampur kelapa parut, santan, ikan, atau ayam dan aneka bumbu, batang pisang yang diris tipis-tipis ini menjadi pendamping nasi bercita rasa lezat.
Ada pula bundu-bundu, yakni ayam masak lengkuas, serta nasu gonda, sejenis sop ayam menggunakan bumbu sederhana dengan campuran santan encer dan kucai.
”Bundu-bundu dan nasu burak manu’ ini kaya rempah. Ada cabai, bawang merah dan putih, kunyit, sereh, kelapa parut, santan, dan bahan lain. Rasanya lezat saat semua bumbu dan santan meresap,” kata Sri.
Kembali tim mencatat dan menimbang dengan rinci semua bahan yang digunakan berikut cara memasaknya. Di Enrekang ada pula dangke, makanan khas setempat yang terbuat dari susu sapi. Bentuknya mirip tahu dan rasanya menyerupai keju. Warga lazim menjadikannya camilan atau dimakan bersama nasi.
Nasu cemba adalah kuliner lain yang terkenal di Enrekang. Terbuat dari daging kerbau atau sapi dan dimasak bersama daun cemba yang bentuknya menyerupai daun asam. Rasanya memang sedikit asam hingga memberi rasa segar pada masakan.
Baca juga : Melestarikan Kuliner Tradisional, Mengabadikan Keterikatan dengan Alam
Sebelumnya di Kajang, Bulukumba, tim juga mencatat sekaligus melihat langsung pembuatan pallu cukka, kuliner turun-temurun suku Kajang.
Suhuriah (38), salah seorang warga suku Kajang, mempraktikkan cara memasak kuliner leluhur ini. Masakan ini menggunakan ayam kampung dan sejumlah rempah dengan cuka yang dibuat dari fermentasi aren. Selain itu, mereka juga membuat kampoddo, nasi yang terbuat dari olahan jagung.
”Makanan ini sudah dibuat turun-temurun. Resepnya diajarkan oleh orangtua. Memang generasi sekarang tidak banyak lagi yang tau membuatnya. Tapi, kami berusaha mengajarkan,” katanya.
Di Desa Kole Sawangan, Kecamatan Malimbong Balepe, Tana Toraja, Herlina Liling Tasik (39) dan Ester Sangruing (43), warga setempat, membuat aneka makanan yang dipanggang dalam bambu. Di Toraja, makanan seperti ini disebut pa’piong dan lazim disajikan dalam berbagai acara, terutama pesta adat.
Merawat pusaka kuliner
Pendokumentasian kuliner tradisional atau langka ini, menurut Meilati Batubara, menjadi bagian dari upaya merawat kekayaan kuliner Indonesia. Lebih lanjut, program Pusaka Rasa Nusantara merupakan kegiatan preservasi kebudayaan Nusantara melalui riset berupa pencatatan dan pendokumentasian resep makanan yang memiliki nilai kebudayaan serta hubungan dengan isu sosial dan lingkungan.
”Pendokumentasian ini mencakup banyak aspek, misalnya sejarah, sosial, dan budaya. Kuliner ini tidak berdiri sendiri. Ada faktor budaya di dalamnya, sosial, hingga lingkungan. Banyak kuliner yang merupakan hasil akulturasi,” kata Meilati.
Akulturasi ini biasanya karena pengaruh jalur perdagangan atau migrasi. Kuliner yang benar-benar asli Indonesia biasanya ditemui di daerah yang tak tersentuh jalur perdagangan di masa lampau dan bukan tujuan migrasi.
Baca juga : Menikmati Akulturasi di Meja Makan
”Hampir semua pesisir ada pengaruh Melayu dan China, dan pengaruh China karena urusan dagang. Ada juga pengaruh Barat, misalnya yang dibawa Belanda,” katanya.
Setidaknya lebih 300 resep makanan tradisional sudah didata dan didokumentasikan oleh tim Pusaka Rasa Nusantara. Benang merah dari aneka kuliner ini adalah pada umumnya masyarakat Indonesia pada masa lampau menggunakan bahan yang didapat di lingkungan sekitar.
”Di pantai, makanan laut. Di dekat rawa, makanan rawa. Dulu orang tidak kelaparan karena memakan apa aja yang ada di sekitar. Mereka tidak begitu bergantung pada bahan makanan dari luar wilayah atau kawasan,” katanya.
Redesain tanpa mengubah esensi
Ragil Imam Wibowo, chef yang banyak mengeksplorasi kuliner tradisional Indonesia, mengatakan, tantangan keberlanjutan kuliner tradisional bukan hanya soal pencatatan. Kurangnya minat generasi muda juga jadi tantangan lain.
”Makanya, yang pertama adalah mencatat dulu. Urusan orang tertarik atau tidak, itu nomor dua. Minat bisa ditumbuhkan, misalnya dengan meredesain kuliner tradisional agar bisa diterima di segala zaman dan generasi,” katanya.
Redesain yang dimaksud berupa mengubah tampilan atau menambahkan bahan dan cara memasak tanpa mengubah esensi. Kalaupun ada perubahan rasa, tak bisa lebih dari 10 persen.
Pendokumentasian ini mencakup banyak aspek, misalnya sejarah, sosial, dan budaya. Kuliner ini tidak berdiri sendiri. Ada faktor budaya di dalamnya, sosial, hingga lingkungan. Banyak kuliner yang merupakan hasil akulturasi.
Menumbuhkan rasa bangga, menurut Ragil, juga bisa jadi faktor keberlangsungan kuliner tradisional. Contohnya, masakan Padang yang mudah ditemui di banyak daerah. Makanan ini banyak dibuat sebagai menu keluarga, bahkan oleh keluarga yang bukan berasal dari Padang.
”Ada juga se’i yang dibawa oleh anak-anak muda dari NTT ke banyak daerah. Sekarang resto se’i mudah dijumpai di mana-mana. Dagingnya menyesuaikan selera orang kebanyakan, termasuk pemilihan sambal. Mestinya seperti inilah kuliner tradisional diperkenalkan, dibuat, dan diredesain menyesuaikan tren, tapi esensinya tetap dijaga,” katanya.
Ragam kuliner Nusantara yang didokumentasikan dalam program Pusaka Rasa Nusantara ini bakal dibukukan. Tak sekadar resep, Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia akan menyusun berbagai aspek yang memengaruhi kemunculan dan perkembangan kuliner tersebut.
Baca juga : Pusaka Rasa dari Ranah Minang
”Bukunya akan kami bagi, di antaranya ke sekolah masak di daerah-daerah. Akan kami buat juga dalam tayangan video dan pameran. Selanjutnya, ini membutuhkan peran semua orang, semua kalangan, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk ikut menjaga. Dengan begini, kami berharap kuliner tradisional ini tak akan hilang,” kata Meilati.
Berburu Resep Kuliner Tradisional hingga Pelosok Negeri - kompas.id
Read More
Tidak ada komentar:
Posting Komentar